Tuesday, 8 April 2008

Nasionalisme Bangsa Indonesia sangat minim

Oleh Ade Rusliana, M.Pd.

Negara Indonesia adalah negara yang kaya dengan alam, strategis dan mempunyai SDM yang handal. Namun bagaimana dengan pengelolaannya sehingga Indonesia menjadi negara yang terpuruk dalam segala bidang? Mari kita pandang potensi Indonesia dari sudut Nasionalisme.

Seperti yang telah diberitakan di kompas pada 3 April 2008, Beberapa bulan belakangan berbagai media Tanah Air semakin kuat melaporkan
kesulitan ekonomi yang dialami golongan ekonomi kecil. Kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan dasar paralel dengan terjadinya penciutan dan
bangkrutnya beberapa sektor ekonomi rakyat.

Sektor informal telah diketahui telah menjadi penyelamat rakyat kecil
sejak krisis 1997. Sektor ekonomi modern sampai sekarang belum bangkit
hingga menimbulkan pertanyaan, mau dibawa ke mana perekonomian Indonesia?

Media massa telah beberapa tahun ini mengangkat permasalahan semakin
besarnya uang yang dialokasikan perusahaan untuk memenuhi tuntutan
berbagai pihak. Tidak berkaitan dengan perizinan, melainkan karena
alasan-alasan yang lebih tidak masuk akal. Uang terpaksa diberikan
pengusaha untuk menyelamatkan usahanya.

Selain hal-hal tersebut, yang sering diangkat di media massa adalah
fenomena yang sesungguhnya juga terus membesar, yaitu pemerasan di
jalan-jalan, di tempat di mana usaha ekonomi rakyat. Kita tinggal
menanyakan kepada sopir taksi, sopir angkutan barang, penumpang, atau
pedagang toko. Dengan jelas mereka akan mengatakan bahwa pungutan-pungutan
semakin menggila. Artinya, tanpa alasan yang masuk akal. Kelompok
minoritas tertentu lebih rentan lagi. Dengan mudah orang dapat melihat
pemerasan-pemerasan terselubung langsung di tempat mereka berusaha
sehingga sejumlah uang harus dialokasikan untuk keperluan tersebut.

Namun, sangat jarang yang mau, bisa, atau berani memprotes. Masuk akal
juga sebab DPR/DPD telah kehilangan kredibilitasnya sebagai tempat
memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka juga enggan mengadu kepada
polisi untuk alasan yang semua orang sudah tahu. Jika pun mengadu, apakah
akan efektif? Mereka malah khawatir akan timbul reaksi balik, bahkan
sebelum permasalahannya diakui.

Inefisien

Dari semua uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, yaitu negara
tidak dapat mengatur hubungan-hubungan berbahaya atau, setidaknya,
inefisien di dunia ekonomi. Pemerintah cuma mampu menaruh perhatian pada
upaya menstabilkan ekonomi makro. Pertanyaannya, semua itu untuk siapa?

Apakah negara gagal? Apakah ”negara& #8221; itu: apakah pemerintah
saja atau juga institusi negara lain, yaitu lembaga perwakilan dan
peradilan. Apakah makna ”gagal& #8221;: bukankah tidak terjadi
kekacauan sipil, jalan masih dipenuhi mobil, dan mal tidak sepi
pengunjung?

Mari kita lihat studi yang dilakuan World Economic Forum dan Universitas
Harvard sekitar tahun 2002 tentang negara gagal, ciri-cirinya, dan apa
akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara, di mana Indonesia termasuk.
Studi ini memberi tempat untuk kita becermin tentang apa yang sedang
terjadi di Indonesia.

Menurut studi tersebut, karakteristik negara gagal, antara lain, adalah
tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela,
miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara
gagal pada awalnya banyak karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu
ketidakefisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan
ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaa n pelayanan dan barang dasar
bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan
pengangguran yang berkepanjangan.

Biasanya kemunduran ekonomi sejalan dengan lemahnya institusi penegakan
hukum. Bisa saja memang kelemahan ini sudah menjadi karakter dasar, tetapi
dengan kemunduran ekonomi, semakin sulit menegakkan institusi ini menjadi
lebih bersih. Sebagai catatan, beberapa studi menunjukkan bahwa diperlukan
kestabilan pertumbuhan ekonomi pada level tertentu untuk dapat menjamin
kestabilan demokrasi. Demikian seterusnya, saling memperkuat atau
menjatuhkan.

Keriuhan arena publik

Banyak orang mengira bahwa kebebasan ekspresi akan mengekang kegagalan
negara. Namun, studi ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi tidak
terlalu berpengaruh atas kegagalan negara. Artinya, kegagalan bisa terjadi
pada negara yang menganut sistem demokrasi. Mengapa demikian?
Penjelasannya harus dicari pada bekerjanya sistem perwakilan dan kapasitas
pemerintah untuk menanggapi kepentingan masyarakat. Di Indonesia yang
terjadi adalah keriuhan di arena publik tanpa kaitan kuat ke proses
pengambilan kebijakan. Suara masyarakat tidak banyak pengaruh di DPR/DPD.
Sementara pemerintah sibuk mengurusi interaksinya dengan anggota DPR/DPD.

Negara gagal sangat potensial mengembangkan lebih lanjut wilayah ekonomi
ilegal. Muasalnya, penegakan hukum gagal melakukan pekerjaannya. Kedua,
dengan keadaan inilah pelaku ekonomi ilegal menancapkan kukunya, yang jika
dibiarkan kelamaan akan mendistorsi perencanaan pembangunan nasional dan
merusak moralitas ekonomi bangsa.

Rakyat miskin akan sangat tergoda untuk membeli barang serta jasa maupun
bekerja di wilayah ekonomi ilegal. Jika semakin besar, terciptalah kultur
hubungan ekonomi yang didasarkan pada kerangka ilegalitas. Misalnya, tidak
membayar pajak, pemerasan dan bukan persaingan produk, ketidakpercayaan
yang tinggi hingga menciptakan batas-batas sempit fleksibilitas membuat
hubungan baru (eksklusivisme) , profesionalisme yang tidak berkembang, dan
sebagainya.

Yang mengerikan adalah dalam situasi kegagalan yang berlanjut, pelaku
ekonomi ilegal bisa mentransformasi dirinya masuk ke dalam ekonomi legal
serta memberi warna dominan pada lingkungan (niche) perekonomian. Itulah
yang melatarbelakangi fenomena mengapa pada situasi kegagalan negara yang
berkepanjangan, batas-batas antara yang legal dan ilegal menjadi kabur.
Salah satu contoh yang kuat adalah cara-cara premanisme yang dipakai
bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Contoh lain, berkembangnya
bisnis keamanan dan bisnis intel (Tempo, 24/3/ 2008).

Sebagai catatan akhir, kegagalan negara bukanlah semata kegagalan
pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan
publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang
memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.

Meuthia Ganie-Rochman Sosiolog Bidang Organisasi Sosial di Universitas
Indonesia.
Jelas sekali dari uraian di atas bahwa Nasionalisme Indonesia sangat terpuruk, lalu bagaimanakah dengan Pendidikan Kewarganegaraan Negara yang diberikan pada bangsa Indonesia di setiap bangki sekolah? Sejauh mana dampaknya?
Indonesia perlu peningkatan/ perubahan kurikulum, mengkaji ulang metode penanaman Nasionalisme.

No comments: