Monday, 12 January 2009

Image Perubahan Pendidikan (The Images of Educational Change)

Buku Altrichter, Herbert dan Elliott, John (2000), Ed., The Images of Educational Change, Open University Press, Buckingham merupakan kumpulan tulisan. Setelah dibuka dengan Pengantar oleh Herbert Altrichter, penyajian tulisan dibagi menjadi empat bagian dan diakhiri dengan overview yang berjudul Menuju Visi Sinoptik Perubahan Pendidikan di Negera Maju ditulis oleh John Elliot. Masing-masing bagian terdiri atas tiga tulisan, kecuali bagian keempat yang berisi empat tulisan. Judul-judul keempat bagian tersebut adalah (I) Perubahan Pendidikan dan Penyusunan Kebijakan, (II) Hubungan antara Perubahan Sosial dan Perubahan Pendidikan, (III) Konseptualisasi Proses Perubahan Sekolah dan (IV) Menyiapkan Guru untuk Terlibat dalam Perubahan Pendidikan.

Adapun judul-judul dan penulis dari ketiga belas tulisan tersebut adalah: (1) Perubahan Ekonomi, Penyusunan Kebijakan Pendidikan dan Peranan Negara, Ernest R. House; (2) Bagaimana Pendidikan Tidak Ditangani Lembaga Mana pun, Barry MacDonald; (3) Mengembangkan Keadaan Muram: Perkembangan Personal dan Sosial Siswa dan Proses Sekolah, John Schostak; (4) Komunitas, Perubahan Sekolah dan Networking Strategis, Peter Posch; (5) Individu dan Perubahan Sosial: Perubahan Pola Komunitas dan Tantangan Sekolah, Marie Brennan dan Susan Noffke; (6) Perubahan Sosial, Bahan Ajar dan Guru, J. Myron Atkin; (7) Perubahan Kultur Sekolah, Christine Finnan dan Henry M. Levin; (8) Beberapa Unsur Teori Mikro-Politik Perkembangan Sekolah, Herbert Altrichter dan Stefan Salzgeber; (9) Perubahan Konsepsi Kaji Tindak, Bridget Somekh; (10) Pendidikan Reflektif dan Kultur Sekolah: Sosialisasi Calon Guru, Angel Perez Gomez; (11) Studi Kasus dan Catatan Kasus: Suatu Percakapan tantang Proyek Hathaway, Susan Groundwater Smith dan Rob Walker; (12) Ahli Masa Depan?, Christine O’Hanlon; dan (13) Kontrol Guru dan Reformasi Pengembangan Profesionalitas, Lawrence Ingvarson. Berikut adalah substansi tiap tulisan dimaksud.

House dalam bab 1 mengidentifikasi empat aspek ekonomi yang mempengaruhi kebijakan pendidikan. Keempat hal tersebut adalah (a) ekonomi mempengaruhi besar anggaran pendidikan dan menimbulkan konsekuensi sosial, seperti ketidakmerataan ‘kue ekonomi’ yang memberi sekolah masalah, (b) tujuan kebijakan pendidikan tertentu menuntut sekolah lebih efisien dan lebih produktif, (c) pendidikan yang lebih baik menuntun pada kemampuan teknologi dan pekerjaan yang lebih baik dan (d) pemikiran ekonomi melanda dunia pendidikan, misalnya, kebijakan pendidikan dirumuskan dari sudut pandang kebutuhan sekolah menciptakan dan merespon ‘pasar’. Kebijakan ‘pemasaran’ secara agresif makin meminta peran penting. Gagasan muncul dari elit di ibu kota yang didanai oleh sumber-sumber non pendidikan (Ricci, 1993). Semua periset nampak seperti ‘tentara sewaan’ dan semua think tanks nampak menggunakan semua sumber daya institusionalnya untuk mengajukan pandangannya (Smith, 1991).

Tanah, tenaga kerja dan semua faktor produksi menjadi komoditas untuk diperjual-belikan dan tergantung pada pasar. Semua ada harganya, ‘nilai itu dilihat dari harganya’ (Gilpin, 1987). Pasar merusak peran lembaga tradisional –keluarga, komunitas, lembaga agama. Rusaknya peran lembaga-lembaga tradisional tersebut juga merusak basis dukungan tradisional dari pemerintah; pemerintah jatuh-bangun dilihat dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan warga negaranya dan dengan demikian pemerintah makin tergantung pada pebisnis. ‘isu politik sentral dalam kapitalisme… [adalah] hubungan antar bisnis dan pemerintah atau dari perspektif lebih jauh, antara ekonomi dan negara (Heilbroner, 1993). Khusus dalam bidang pendidikan, dari banyak data empiris, kebijakan pemerintah sering counter-produktif, yaitu tidak menghasilan pendidikan atau produktivitas lebih baik. Meskipun banyak contoh reformasi yang berhasil, kebijakan sering tidak dirumuskan sesuai dengan bagaimana lembaga pendidikan berfungsi dalam prakteknya.

MacDonald dalam bab 2 menyatakan bahwa pendidikan masal yang umurnya sekitar seabad nampak tidak berperan mengubah gap kaya-miskin di Inggris yang sekarang ditandai dengan peran demokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Tahun 1987-88, sekolah diberi kebebasan mengelola keuangan sendiri, dan atas persetujuan orang tua murid dapat melepaskan diri pengaruh pemerintah lokal. Pada saat sama, kurikulum nasional diberlakukan dan disupervisi oleh pejabat pusat yangtidak berpengalaman dan/atau tidak kompeten. Kurikulum sekolah dasar dikonsentrasikan secara sempit pada keterampilan dasar dan akuntabilitas penyampaiannya diuji dengan tes, sementara itu dalam kurikulum sekolah menengah masalah personal, sosial dan semua yang kondusif untuk pendidikan kewarganegaraan atau politik dimarjinalisasi. Semua hal tersebut disiapkan untuk menaikkan usia anak meninggalkan sekolah (sampai usia 16 tahun pada tahun 1972). Akibatnya diperlukan kurikulum dan pedagogi (terutama sekolah menengah) yang lebih relevan dengan kehidupan dan pada gilirannya sekolah perlu melakukan interpretasi lebih liberal tentang subject matter, integrasi tematik disiplin ilmu di sekitar isu kemanusiaan, belajar yang lebih didasarkan pada inkuiri dan pendekatan child-centered. Solusi-solusi manajerial untuk mencapai target nasional dan berkurangnya peran pemerintah lokal menyebabkan terlihatnya kelemahan kurikulum nasional. Akhir tahun 90-an, kelemahan diatasi dengan pensiun awal, penolakan siswa recalcitrant dan teralienasi, sehingga timbul masalah baru, yaitu sulitnya merekrut guru. Akhir tahun 1980-an, kondisi konservatif serupa juga terjadi di Amerika, hanya ‘sentralisasi’ berada pada level negara bagian. Benang merah yang mendasari kondisi konservatif adalah ekonomi, yang menurut Small (1907) –pengagum Adam Smith- makin terpisah dari filosofi moral, makin seperti ‘tata bahasa tanpa bahasa’, yang melahirkan prinsip ‘everything counts and nothing matters’.

John Schostak dalam bab 3 menyatakan bahwa sejarah tahun 1980-an dan 1990-an merupakan reaksi pada tahun 1960-an dan 1970-an dengan Amerika dan Inggris masuk ke neo-konservatisme yang menuntut ‘back to basics’ dan nilai-nilai keluarga serta menolak pendidikan dan politik trendi dan progresif dengan tekanan pada efisiensi sekolah. Dalam keadaan tersebut, kurikulum adalah manifestasi dari bagaimana pengalaman subjektif orang-orang lain dikemas dalam proses belajar mengajar (PBM) di sekolah, atau dengan kata lain, kurikulum adalah suatu proses yang memunculkan subjektivitas kultural. Studi psikoanalisis, feminisme dan studi kultural menunjukkan bahwa proses rekayasa individu –atas dasar efisiensi misalnya- selalu menuntun pada resistensi, sehingga dalam masyarakat timbul polarisasi individu/kelompok dominan (D) dan individu/kelompok yang didominasi atau disebut Orang lain (O). Beberapa alternatif yang dapat ditempuh O terhadap D adalah (a) solusi fundamentalis atau kultus: percaya penuh D; (b) solusi hermeneutik: berusaha memahami D; (c) solusi radikal/ revolusioner/ subversif: membuat diskursus alternatif; (d) solusi menyerah/ kepatuhan total atau sebagian; (e) solusi ‘hidup tenang’: kamuflase yang menuntun pada apati bukan pada perubahan sosial yang riil; (f) solusi penolakan tersembunyi/ gerakan bawah tanah dan (g) solusi penolakan terbuka/ gerilya /perang terbuka. Dalam rangka mencari kepercayaan atau kepatuhan total, antisipasiyang mungkin dari D adalah: (a) memakai diskursus kasih saying: D adalah (sepertinya) untuk kepentingan O; (b) memakai kekuasaan, ancama, teror; (c) peniadaan hak individu; (d) memakai diskursus salahkan/ puji diri sendiri. Dalam mengevaluasi hubungan D dan O ada tiga jenis evaluasi yang tersedia: (a) evaluasi birokratik: menerima nilai pejabat dan memberinya informasi yang membuatnya mencapai yang dicanangkannya; (b) evaluasi otokratik: menyediakan informasi pada lembaga pemerintah yang mengontrol alokasi sumber daya dan (c) evaluasi demokratis: pengaturan informasi sehingga timbul dialog rasional antara D dan O. Kutipan dari MacDonald (1996) menutup tulisan Schostak, ‘lebih penting dari skor sains dan matematika adalah keterlibatan generasi akan datang dalam mempertahankan demokrasi dan menolong orang lemah: anak-anak, orang tua, orang sakit, terbelakang, buta huruf, tidak punya rumah dan orang yang lapar’.

Peter Posch dalam bab 4 mengidentifikasi dua megatrend masyarakat. Pertama, individualisasi: (a) Di satu sisi, pembebasan dari ikatan tradisional juga meningkatkan harapan bebas dari interferensi industrial dan admnistratif, di sisi lain, makin tergantung pada pasar kerja dan cara hidup baku yang mendukungnya, seperti pendidikan, konsumsi, tawaran produk (Beck, 1992) dan (b) pergeseran dari etika kewajiban dan tanggungjawab ke etika pengembangan diri. Kedua, fragmentasi dunia kerja: makin banyak tenaga paruh waktu atau ‘tenaga portfolio’ (kontrak kerja dalam waktu tertentu). Eroupean Round Table Industrialist (1994) menyatakan tuntutan bahwa tenaga kerja (a) secara teoritis memahami hubungan kompleks, (b) secara teknis berhadapan dengan alat kerja yang dikontrol program, (c) secara sosial mampu bekerja sama dalam tim, (d) secara organisasional mampu melaksanakan tugas-tugas organisasi, pelaksanaan dan evaluatif dan (e) secara emosional menghayati pekerjaan,sehingga dapat mengembangkan diri. Tiga implikasi megatrend tersebut bagi sekolah adalah (a) delegasi keputusan kurikulum pada sekolah, (b) network sosial dengan lembaga, kelompok dan orang dalam komunitas lokal yang harus dikonstruksi oleh sekolah dan (c) kurikulum beragam dan bekerja sama dengan lembaga lain sehingga bermacam kebutuhan peserta didik dapat dilayani (Elliot, 1996), dan (d) sekolah makin dituntut memperjelas makna belajar dan hubungannya dengan kehidupan personal dan di masa depan. Networks menjadi perhatian dalam tulisan ini. Kondisi yang mendukungnya ialah (a) penekanan pada pelatihan, (b) menggunakan kontak dengan guru lain secara sistematis, (c) berbagai jenis dukungan finansial dan (d) keterlibatan guru dalam kegiatan masyarakat setempat. Networks dinamik beda dengan dan mempunyai kelebihan dari struktur hiearkis. Dalam network dinamik (a) terdapat hubungan simetris, bukan atasan-bawahan, (b) keseteraan cost-benefit, (c) komunikasi berlanjut, (d) masalah dan tujuan ditetapkan bersama, (e) durasi keterlibatan bervariasi, (f) dapat terlibat lebih dari satu networks, dan (f) pengetahuan tidak diterapkan secara instrumental untuk memecahkan masalah tapi secara holistik dengan melibatkan kognisi, orientasi nilai dan perasaan.

Marie Brennan dan Susan Noffke dalam bab 5 menyatakan bahwa sekolah di satu sisi dituntut untuk selalu mengikuti perubahan, sementara di sisi lain diharapkan menyediakan institusi relatif stabil yang atas dasar identitas dan komunitas dibentuk. Sekolah juga mempunyai sejarah mereproduksi inekualitas dalam masyarakat (apple, 1979), namun juga sejarah dalam menciptakan komunitas dan sebagai tempat perjuangan lokal. Dua proyek yang diamati tulisan ini adalah (a) SIP (School Improvement Project) 1982-1990 di Victoria Australia dan (b) Proyek Kurikulum Afrika dan Afrika-Amerika (PKAA). SIP mengekplorasi penggantian sistem inspeksi kualitas yang sentralistik dengan program partisipasi lokal dalam evaluasi. Jadi terhadap tiga jenis evaluasi yang dikemukakan macDonald (birokratik, otokratik dan demokratik), ditambahkan lagi evaluasi partisipatorik (Brown, 1982). SIP menekankan pengembangan berlanjut kapasitas berbagai komunitas yang minat dan latarbelakangnya beda untuk terus sharing dan mempertanyakan nilai yang diberlakukan di sekolah. Sekolah diperlakukan sebagai mikro-kosmos dari masyarakat dan sistem sekolah selalu berada dalam posisi mendukung perubahan mendasar dan sistemik. Basil Bernstein (1996) yang mendiskusikan demokrasi dan hak pedagogis menyatakan tiga hal perlu ada agar tercipta sekolah demokratis: (a) pemberian kesempatan pada individu, (b) inklusi sosial, intelektual, kultural dan personal, dan (c) partisipasi (politis) bukan saja dalam hal diskursus tapi juga dalam hal outcome. PKAA adalah upaya mengatasi kurikulum Amerika yang umumnya berssifat rasis dan mengatasinya dengan cara melengkapinya dengan sejarah dan peradaban Afrika dan Afrika-Amerika. Secara formal upaya dimulai tahun 1987. Tahun 1990-an, fokus awal diperumit dengan diskusi tentang pendidikan ‘multi-kultural’ yang oleh sebagian partisipan dianggap upaya membelokkan fokus awal. Banyak waktu digunakan untuk merumuskan tujuan umum yang menekankan keberagaman kelompok dan komitmen bersama mengubah sistem pendidikan yang rasis menjadi yang fair dan ekuitabel bagi semua orang (1993). Dari sudut pandang perubahan pendidikan perlu dicatat (a) metodologi kaji tindak yang diimport dari luar pada konteks yang mengakui atau mendukungnya tidak mendukung upaya yang dilakukan, (b) perlu upaya menangani konflik dengan komunitas yang sebelumnya memang sedang konflik dan (c) bagi mereka yang terlibat dan identitasnya cukup berlainan (misal, orang Eropa-Amerika dalam PKAA) perlu mengkaji identitas personalnya.

J. Myron Atkin dalam bab 6 mencatat bahwa faktor di luar berpengaruh banyak pada apa yang terjadi di dalam kelas: kondisi kerja, status, otoritas, sosialisasi professional, susunan organisasi. Tulisan ini menambahkan dua hal lagi (a) image bahan ajar, khususnya sains dan implikasinya pada perubahan sosial dan (b) kepercayaan, keterampilan dan perspektif umum guru (yang pada dasarnya adalah tujuan semua perubahan pendidikan). Guru memberikan alasan beda mengapa sains penting: untuk persiapan di dunia kerja, memahami implikasinya pada masyarakat, mempunyai nilai estetik karena mengungkap pola dan keteraturan, dst. Image sains pada abad 19 adalah mengagungkan Tuhan dan perlunya patuh pada orang tua; ada akhir abad 19 sains adalah untuk melatih pemikiran sejalan dengan populernya psikologi faculty; ada awal abad 20 sains adalah studi tentang alam yang dipersepsi setara alam rural murni dan indah, kontras dengan alam urban yang kotor, jahat dan penuh dosa; pada tahun 1920-1930-an sains adalah untuk mengurangi kerja kasar dan mengurangi penyakit dan selepas perang dunia II sains adalah bidang yang harus diwaspadai aplikasinya. Beberapa image kontemporer tentang sains (a) fokus pada sains yang dapat diterapkan dengan segera, (b) guru menghadapi siswa yang bervariasi latar belakangnya dibanding dengan 30 tahun lalu, (c) guru sains yang mempersepsi dirinya ‘serba eksak’ berhadapan dengan penerapan sains –misalnya menentukan lokasi pembuangan sampah- yang memerlukan pertimbangan berbagai aspek yang tidak ‘eksak’.

Christine Finnan dan Henry M. Levin dalam bab 7 mencatat pendapat Mead bahwa kultur itu seperti ikan yang tidak sadar hidupnya berada di air. Dua fitur kultur digunakan tulisan ini ialah (a) kultur berada pada level masyarakat/ kelompok orang (misal Barat, masa kanak-kanak, schooling), lokal (berdasarkan geografi, agama, etnis, okupasi, tempat kerja/sekolah,dst.) dan personal (untuk memahami dan membentuk interaksi antar orang) dan (b) fitur yang nampak kontradiktif dari kultur yaitu di satu sisi konservatif namun di sisi lain selalu berubah. Lima kepercayaan dan asumsi yang mendasari kultur sekolah adalah (a) Ekspektasi sekolah pada siswa: sekolah miskin menekankan kepatuhan dan disiplin, sementara sekolah kaya menekankan berpikir kritis; (b) ekspektasi siswa terhadap sekolah: sebagian resisten karena mendapat pengaruh dari masyarakat sekitarnya; sebagian sukses karena percaya pendidikan jalan ke kesuksesan, dst.; (c) karakteristik sekolah: sekolah miskin ditandai rendahnya percaya diri guru, pendapat pihak luar (orang tua, dst.) dianggap penghambat dan resisten terhadap perubahan, sekolah kaya sebaliknya; (d) praktek sekolah: misi yang didasarkan filosofi jelas (Montesori, bilingual, open learning, dst.), menuntun ke praktek yang jelas; ekspektasi dan siswa rendah menuntun ke praktek memorisasi dan pengajaran keterampilan dasar, dst. dan (e) tuntutan perubahan: jika keputusan diambil pada level birokrasi lebih tinggi, tuntutan berubah rendah. Hal yang tidak boleh dilupakan dalam kultur sekolah adalah sejarah sekolah. ASP (Accelerated School Project) adalah suatu reformasi pendidikan yang mengakui pentingnya kultur sekolah. Sejak 1986, ASP menyebar ke sekitar 1000 sekolah dasar dan lanjutan di 40 negara bagian, 12 pusat pendukung dan 300 tenaga terlatih yang memantau sekolah. Proyek bertujuan untuk mempercepat proses belajar terutama bagi siswa yang berisiko gagal dengan sekolah mengambil keputusan dalam hal-hal: eksplorasi semua dimensi sekolah, konstruksi tujuan dan visi, menetapkan prioritas, sistem pengelolaan yang melibatkan semua orang, pendekatan sistematis pada kaji-tindak dan pemecahan masalah serta tentang pedagogi menyeluruh yang menyatakan semua sumberdaya sekolah dikerahkan untuk menghadapi tantangan proses belajar mengajar.

Herbert Altrichter dan Stefan Salzgeber dalam bab 8 mengamati dekade lalu ditandai oleh reformasi sekolah yang bertema otonomi sekolah, desentralisasi dan devolusi baik di negara yang dulunya sentralistik (Austria dan negara Eropa lainnya) maupun di negara yang dulunya desentralistik (Inggris, Wales, dst.). Menurut ‘teori strukturasi rasional-kontinjen, organisasi itu sifatnya berorientasi tujuan dengan sistem perencanaan rasional dan dengan struktur objektif, sementara pengembangan organisasi dilaksanakan oleh konstruktor organisasi atas dasar kalkulasi rasional (Turk, 1989). Kontinjen artinya tergantung variabel konteks. Sementara itu, teori mikro-politik berpandangan (a) organisasi mempunyai beragam tujuan dan pengaruh, meskipun demikian teori (seharusnya) tidak menjelaskan konsensus sebagai suatu bentuk dominasi, eliminasi, pre-emprif atau menutup-nutupi konflik, (b) pelaku mengejar kepentingannya masing-masing sesuai nilai yang dianutnya, dan (c) perjuangan strategis dan penuh konflik terjadi atas definisi dan struktur organisasi. Beberapa masalah teori mikro-politik adalah (a) harus dapat menjelaskan bagaimana organisasi relatif stabil dan bertahan suatu waktu tertentu, (b) pengaruh dari luar organisasi, (c) tidak melihat politik semata sebagai pengkhianatan, konspirasi dan akumulasi pengaruh atau lawan dari kebenaran dan penalaran. Organisasi hampir tidak dapat dikonsepsi semata sebagai konglomerasi kekuasaan dan permainan (yang ditandai oleh resiko, pemenangan, cheating, dst.). Konsensus tidak semata diperoleh lewat negosiasi eksplisit, tapi juga bersumber dalam lebenswelt yang dapat dipahamkan sebagai konsensus historis generasi terdahulu yang kurang lebih dikenal luas serta yang sekarang direproduksi lewat tindakan. Doyle dan Ponder (1976) menafsirkan kesulitan yang dialami sekolah dasar ketika tugas pembelajaran makin kompleks dikenalkan sebagai proses negosiasi. Tugas makin kompleks menyebabkan siswa tidak nyaman dan ‘mengancam’ untuk tidak disiplin dan dengan demikian secara implisit melakukan negosiasi dengan pendidik: tugas lebih sederhana yang dikompensasi dengan disiplin di kelas.

Bridget Somekh dalam bab 9 mengawali tulisannya dengan parabel yang membawa pesan bagaimana seseorang dapat menikmati pendidikan/ pengembangan profesionalisme yang dikatakan bagus tapi kemudian setelah berhasil malah membuatnya menjadi budak orang lain. Kaji tindak adalah model perubahan yang tidak demikian, sembari menekankan prinsip kepemilikan dan profesionalisme guru. Kaji tindak dirumuskan dari riset perilaku individu dan kelompok oleh Lewin, Schon, dst. Tahun 1970-an kaji tindak disempurnakan di Impington dan secara luas didukung Education Act tahun 1944. Tahun 1980-1990-an, pemerintahan Thatcher mempunyai posisi oposisional –menekankan dualisme yang lekat dalam masyarakat Barat- dengan misalnya ucapan yang mengkultuskan individualisme lewat perkataannya ‘Tidak ada yang disebut masyarakat itu’. Posisi oposisional tersebut tidak sejalan dengan tema kaji tindak yang menolak posisi oposisional, dan malah mengeksplorasi serta membangun hubungan antara teori dan praktek, objektivitas dan subjektivitas, dst., sehingga dengan demikian tema kaji tindak adalah ‘tugas dobel’ yang dilaksanakan bersama-sama/ kolektif atau apa yang dinamakan Gidden ‘demokrasi dialogis’. Namun, tetap harus diingat bahwa ketika mendeskripsikan diskursus sebagai ‘regimes of truth’ yang dikonstruksi orang-orang sepemikiran, Foucault memprediksi ketidak-terhindaran semua sistem –seberapa besarnya pun niatnya untuk memberdayakan orang lain- mengembangkan ortodoksi dan mekanisme untuk memaksakannya dan beliau menyarankan gagasan dalam bukunya ‘sebagai alat… untuk menghancurkan sistem kekuasaan, termasuk kekuasaan yang darinya bukunya tersebut terbit’ (Foucault, 1975).

Angel Perez Gomez, dalam bab 10 menyarikan studi kasus praktek mengajar (practicum) delapan calon guru di delapan universitas di Andalusia (Spanyol). Tiap studi kasus berlangsung selama empat bulan. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh dan persisten adalah (a) tekanan kultur sekolah dan kelas yang harus diikuti jika ingin berhasil, (b) ketidaknyamanan personal dalam menguasai situasi kompleks dan asing serta ketakutan tidak dihargai sebagai guru, (c) teori yang dipelajari ditemukan tidak berguna untuk dipraktekkan di lapangan, (d) kekurangan acuan dan laternatif teoritis/praktis untuk men’judge’ semua yang diamati dan dialami dan (e) tidak berfungsinya supervisor sebagai penyeimbang kultur sekolah dan kelas.

Susan Groundwater Smith dan Rob Walker dalam bab 11 menyajikan studi dan catatan kasus sekolah dasar Hathaway (SDH) yang terletak di daerah migran di Sidney. Organisasi kelas SDH didesain ‘terbuka’: tiap hari berurusan dengan kebijakan dari atas dan dengan perubahan sosial di lingkungan sekitarnya. Studi SDH diinisiasi satu dekade lalu oleh Susan Groundwater Smith dengan tujuan untuk memperoleh catatan kasus untuk digunakan dalam program pendidikan guru. Di dunia pendidikan, studi kasus dikembangkan sejalan dengan proyek untuk mengimplementasikan perubahan kurikulum dan organisasi. Studi kasus merupakan tilikan sentral saat ini dalam kaji tindak, evaluasi, pengembangan kurikulum dan studi kebijakan. Dari sudut pandang metodologi, studi kasus sering dianggap istilah pantechnicon yang setara dengan riset kualitatif dan secara longgar dikaitkan dengan istilah-istilah evuvurncaluasi ilmunatif dan responsif, riset partisipan, etnografi pendidikan, riset naturalistik, dst. Studi SDH menyatakan perlunya bertanya secara eksplisit mengapa masalah tertentu saja yang dikaji dan mengapa masalah yang lainnya tidak dikaji. Hal lain yang juga dikaji SDH adalah perlunya guru dapat mengembangkan kaleidoskop permasalahan: fakta-fakta dapat disusun berulang-ulang untuk sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. Hal lainnya lagi adalah terdapat dua makna author; (a) membuat deskripsi koheren bagi diri sendiri dan (b) membuat deskripsi ‘ko-author’ dengan periset. Tahun 1970an Lawrence Stenhouse mendesain penelitian membandingkan interview (‘sejarah oral’) yang datanya dicari oleh Lawrence Stenhouse dan Jean Rudduck dengan observasi (‘etnografik’) yang datanya dicari oleh Stephen Ball dan Rob Walker. Dengan mengacu ke Alfred Schutz, Stephen selalu menyatakan bahwa interview sebagai suatu konstruksi sosial yang tidak dapat diperlakukan sebagai data yang lepas konteks (decontextualized data); persoalan serupa juga diamati Stephen dan Walker dalam memisahkan etnografer dari etnogarfi yang dibuatnya. Isu tersebut diberi tekanan oleh Stenhouse untuk membuat archives data yang padanya komunitas peneliti dapat menyumbang dan menggunakannya sebagai sumber analisis.

Christine O’Hanlon dalam bab 12 mencatat bahwa sejak tahun 1970an Eropa dan Amerika turun pertumbuhan ekonomi, pengaruh politik global dan legitimasi kulturalnya. Hal tersebut menyebabkan munculnya diskursus-diskursus reflektif dan kritikal: teori kritikal, fenomenologi, etno-metodologi, Marxisme, eksistensialisme dan pasca-modernisme. Tema-tema tersebut dalam fokus akademis dipadukan dengan perspektif konstruksionisme sosial, dekonstruksionisme dan pasca-modernisme. Dalam perspektif pasca-modern masyarakat dipandang sebagai text serta teks ilmiah dan akademik sendiri dipandang sebagai tindakan retorik yang tidak mempunyai legitimasi logis atau empiris (inheren) ….(tapi adalah) representasi ideologi, kelompok dan kepentingan berbeda-beda. Dalam dunia pendidikan, tekanan critique ideologi dan pasca-empiris tersebut mempertanyakan pendidikan guru tradisional yang menekankan kemampuan akademis dan intelektual, sementara pengetahuan dan pengalaman praktis dianggap sebagai insidental dan bahkan ditiadakan karena dianggap subjektif atau anekdotal jika digunakan sebagai bukti dalam karya tulis dan disertasi. Praktek tradisional menuntut praktisi patuh pada suatu ‘otoritas’ yang dibangun dari pengalaman praktis. Hanya dengan cara demikian guru memperoleh pengetahuan praktis dan standards of excellence yang dengannya kompetensi praktisnya dapat dievaluasi. Sekarang ini, debat tentang pedagogi … mengabaikan bentuk keseluruhan ‘kurikulum’ dalam semua level dan gagal untuk menempatkannya dalam faktor sosio-kultural kompleks yang lebih luas yang berkaitan dengan concern ekonomi, politik dan strategis dalam masyarakat Barat… Sayangnya, kurikulum nasional tidak mengijinkan prinsip atau bahan ajar yang disusunnya untuk didebat, hanya detil-detilnya yang dapat dikaji ulang…[Padahal hal yang diperlukan adalah misalnya] pengembangan profesional guru menjadi pendidikan guru ketika teori kritikal tentang situasi pengajaran memberi kesempatan pada guru untuk menjelaskan dan memahami bagaimana pembelajaran dikontrol faktor-faktor di luar kelas dalam konteks masyarakat dan politik. Profesional dalam bidang pendidikan perlu mengenali bahwa pengetahuan pedagogi dan kurikulum selalu problematik dan dengan demikian selalu terbuka untuk dikaji, dinilai dan direvisi secara seksama.

Akhirnya, Lawrence Ingvarson dalam bab 13 mencatat tahun1973 labor government mengeluarkan Karmel Report yang isinya mengenai pengembangan profesional menyatakan bahwa suatu tanda okupasi berketerampilan sangat tinggi adalah proses persiapannya sesuai standar dari praktisi itu sendiri dan pengembangan selanjutnya juga sebagian besar adalah tangungjawab profesi tersebut…Kenyataannya guru mempunyai sedikit kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan organisasi guru lebih peduli pada pelayanannya pada industri, bukannya pada pengembangan keahlian yang dianggap tugas pemberi pekerjaan. Sekarang, kita mempunyai manajemen berbasis sekolah, tapi guru mempunyai kesempatan lebih sedikit dalam pengembangan profesi(onal)nya, kecuali dalam lingkup tujuan yang secara sentral ditetapkan dalam school charters dan kurikulum. Seperempat abad setelah Karmel Report, hampir semua negara bagian mempunyai budget pengembangan profesi(onal). Tapi, di Victoria missalnya, aktivitas dibatasi oleh school charters yang prioritasnya ditetapkan negara bagian dan pendidikan in-service yang school-focused bergeser ke pengembangan staf yang dikontrol manajemen. Tahun 1993, sebagai bagian dari kampanye, federal labor government memberi dana 60 juta AUD untuk program nasional pengembangan professional (NPDP)…Tapi, dana dapat digunakan hanya untuk tujuan yang ditetapkan pemerintah federal atau prioritas nasional seperti misalnya kurikulum nasional. Asesmen standar dan kinerja untuk sertifikasi dikembangkan NBPTS (National Boards for Professional Teaching Standards) Amerika. Asesmen serupa hendaknya meliput sekurang-kurangnya (a) standar pembelajaran, (b) struktur insentif, (c) infrastruktur pembelajaran profesional dan (d) sertifikasi profesional yang kredibel dan voluntary.

Diambil dari:

Dodi Sukmayadi..2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model Inovasi (Book Report . Altrichter, Herbert dan Elliott, John (2000), Ed., The Images of Educational Change, Open University Press, Buckingham). Bandung Program Pasca Sarjana- Universitas Pendidikan Indonesia.

No comments: