Wednesday 1 August 2007

Surga

Demi berebut surga, tak jarang mereka justru bertengkar dengan sesama. Mereka berlomba-lomba menyesatkan orang, memvonis orang lain sebagai pendosa dan terlaknat. Seolah hanya mereka sajalah yang layak menghuni surga. Doktrin ini ikut pula melumpuhkan etika dan moralitas yang merupakan pokok ajaran Islam. Orang lupa bahwa ajaran Islam sangat menekankan amal salih kepada sesama.

Salah satu hadis yang lumrah didengungkan mayoritas umat Islam adalah “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Ungkapan metaforis hadis itu menarik dicermati. Hadis itu seakan menyiratkan betapa dekatnya jarak kita dengan surga. Ia bukanlah tempat mewah yang jauh dari jangkauan angan-angan. Surga ada di bawah telapak kaki ibu. Artinya, kunci masuk surga adalah berbuat baik dan berbakti kepada seorang perempuan: ibu.

Makhluk ini, oleh Jalaludin Rumi dalam Matsnawi, layak disebut ”seorang pencipta”. Ketika Nabi Muhammad ditanya seorang sahabat tentang siapa yang paling layak ia taati, beliau menyebut “ibumu!” tiga kali berturut-turut.

Namun tidak semua Muslim menyadari ajaran yang tersirat dari hadis tersebut. Banyak orang kini berbondong-bondong mencari surga dengan cara meninggalkan rumah dan keluarga. Inilah yang antara lain dilakukan para teroris yang mengaku diri sebagai pembela Islam dan berdakwah secara kasar dengan dalih jihad. Mereka bahkan tak segan membunuh dan merampok orang yang dianggap musuh. Mereka pun seringkali membohongi dan menyembunyikan tindakannya dari sanak-keluarga.

Pengakuan beberapa keluarga teroris baru-baru ini menunjukkan bahwa pihak keluarga tidak benar-benar tahu tindak tanduk dan gerak-gerik sang teroris. Orang tua, saudara, bahkan istri sendiri, seringkali tak paham apa yang mereka kerjakan. Bagi para teroris, keluarga–terutama yang tidak seideologi—sudah tehitung sebagai orang lain, bahkan bisa menjadi musuh yang patut diperangi.

Meski tidak terang-terangan berkata begitu, cara mereka menyembunyikan diri adalah bukti bahwa mereka tidak lagi menganggap keluarga sebagai bagian dari jamaahnya. Karena itu, mereka harus berpura-pura bahkan menjadikan keluarga sebagai sasaran dakwah. Keluarga pun dianggap harus dikembalikan ”ke jalan lurus” sebagaimana yang telah mereka tempuh.

Sebagian umat Islam terkadang ikut pula tergiur akan impian indah tentang surga. Surga ibarat obat ampuh untuk menawar rasa perih dan penderitaan yang mereka tanggung. Kebodohan dan keterbelakangan membuat mereka frustasi dalam menjalani hidup. Satu-satunya harapan adalah hidup bahagia di kemudian hari.

Jika tak bisa hidup enak sekarang ini, mengapa tidak berharap di akhirat nanti?! Itulah tombo ati yang dianggap mampu menenangkan kegelisahan jiwa. Tapi, dengan harapan sedemikian, mereka justru melupakan luasnya khazanah Islam. Doktrin surga-neraka telah ikut mereduksi ajaran Islam. Seluruh amal perbuatan mereka selalu ditujukan untuk mendapat surga. Mereka berebut kavling surga. Pilihan setelah mati hanya dua: surga atau neraka.

Demi berebut surga, tak jarang mereka justru bertengkar dengan sesama. Mereka berlomba-lomba menyesatkan orang, memvonis orang lain sebagai pendosa dan terlaknat. Seolah hanya mereka sajalah yang layak menghuni surga. Doktrin ini ikut pula melumpuhkan etika dan moralitas yang merupakan pokok ajaran Islam. Orang lupa bahwa ajaran Islam sangat menekankan amal salih kepada sesama.

Karena itu, wajar bila sufi perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah, merasa gundah। “Aku akan ke langit untuk membakar surga dan memadamkan neraka agar keduanya tak menjadi alasan orang untuk berbakti kepada-Nya.” Kegundahan Rabi’ah menunjukkan bahwa doktrin surga-neraka ikut memalingkan umat manusia dari esensi dari ajaran agama. Alih-alih berbuat kebajikan demi mendapat surga, mereka justru menyakiti sesama.